Elly Dawaty – Menapak Jejak dari Rengat ke Dumai

 

Dumai, 16 April 2025 - BKI DUMAI

Nama saya Elly Dawaty, atau biasa dipanggil Elly. Saya lahir di Rengat, pada tanggal 16 April. Meski terlahir di kota kecil itu, hidup saya dibentuk dan ditempa di kota yang kini menjadi rumah dan ladang perjuangan saya—Dumai. Bagi saya, Dumai bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah saksi bisu bagaimana saya jatuh bangun dalam menata hidup, hingga menjadi sosok yang hari ini terus belajar dan berkembang.


Masa Kecil yang Sederhana, Namun Penuh Warna

Masa kecil saya sungguh membahagiakan. Terlahir dalam keluarga sederhana tidak pernah menjadi halangan untuk merasa cukup. Dari Rengat, saya dibawa pindah ke Tembilahan, kota yang dijuluki “Kota Seribu Parit”. Di sanalah saya pertama kali merasakan dunia sekolah—memulai taman kanak-kanak dengan riang dan harapan.

Namun, saat saya berusia 5 tahun, keluarga memutuskan untuk berhijrah ke Dumai demi mencari kehidupan yang lebih layak. Sebuah langkah besar yang ternyata menjadi titik awal dari begitu banyak perjalanan hidup saya.


Mencetak Prestasi Sejak Usia Dini

Di usia 6 tahun, saya mulai duduk di bangku SD Islam di Jalan Datuk Laksamana, yang dikenal sebagai SD Al-Huda karena letaknya dekat dengan Mushalla Al-Huda. Di sekolah inilah semangat belajar saya tumbuh subur. Dari kelas satu hingga kelas enam, saya selalu meraih juara umum, bahkan di kelas tiga sudah dipercaya membantu guru mengajar adik kelas. Bagi saya, itu bukan hanya prestasi, tapi bentuk syukur dan tanggung jawab.


Langkah yang Tak Selalu Lurus Tapi Penuh Arti

Ketika lulus SD, saya berharap bisa melanjutkan ke SMP Negeri 1 Dumai. Kepala sekolah saat itu, Bapak Harahap, bahkan telah memberi sinyal kuat saya akan diterima karena nilai saya sangat baik. Namun takdir berkata lain—karena alasan keluarga, saya justru diarahkan melanjutkan pendidikan agama di kampung halaman. Keinginan masuk SMP negeri pun tertunda, namun semangat belajar tetap menyala.


Masa SMA dan Cinta pada Dunia Sastra

Setelah tamat dari SMP swasta, saya melanjutkan ke SMA swasta favorit di Dumai. Di sana, saya menemukan ruang untuk mengekspresikan diri. Saya aktif mengikuti berbagai kegiatan seperti bela dirilomba baca puisi, hingga mengarang cerpen. Semua lomba saya ikuti dengan sepenuh hati, dan banyak yang membuahkan hasil manis.


Kempo: Jalan Hidup yang Menguatkan

Saya adalah seorang ibu dari seorang putra. Dan dunia bela diri Kempo adalah salah satu bagian terbesar dari hidup saya. Saya mulai menekuninya sejak kelas satu SMA. Awalnya ikut pertandingan tingkat kota, lalu naik ke tingkat provinsi, hingga dipercaya mewakili daerah di tingkat Pra-PON melalui organisasi PERKEMI (Persaudaraan Kempo Indonesia).

Saya juga pernah menjadi pelatih daerah dan membawa nama Kabupaten Pelalawan menjadi Juara Umum II tingkat provinsi. Hingga kini, saya masih aktif melatih di berbagai sekolah, mengisi kegiatan ekstrakurikuler dengan semangat yang sama sejak awal.


Tak Pernah Diam: Dari Pekerja Keras ke Dunia Jurnalistik

Saya bukan tipe orang yang suka berpangku tangan. Untuk menopang ekonomi keluarga, saya terbiasa bekerja apapun yang halal dan penuh keberkahan. Prinsip saya: selama bisa memberi yang terbaik untuk anak dan keluarga, saya siap menjalaninya.

Perjalanan hidup membawa saya ke dunia media. Saya bergabung dengan TV Swasta Dumai Vision, di mana saya menemukan kenyamanan dalam mengejar berita. Kenapa nyaman? Karena setiap berita saya anggap sebagai karya, dan saya memang mencintai dunia sastra dan cerita.


Seni adalah Cermin Jiwa

Bagi saya, seni adalah kelembutan, keindahan, dan kejujuran jiwa. Saya suka menulis, berpuisi, dan menciptakan cerita pendek. Ketika menulis, saya merasa sedang menyalurkan sesuatu dari dalam hati. Dulu, saya pernah meraih juara 2 lomba baca puisi tingkat SMA, dan sebuah cerpen saya pernah dimuat di majalah “Anita”, majalah populer di masa itu.


Untuk Seni dan Budaya, Tak Ada Kata Menyerah

Memajukan seni dan budaya bukan perkara mudah. Tapi saya percaya, semua bisa dimulai dari hal sederhana: menghargai para seniman, mengapresiasi karya mereka, dan tidak melupakan keberadaan mereka dalam setiap momentum kebudayaan.

Mereka tak selalu butuh pujian besar, tapi butuh pengakuan dan kehadiran dalam karya yang mereka cintai.


Penutup: Harapan dan Keyakinan

Saya percaya, tidak ada yang berat selama ada keinginan yang kuat dan kerja sama tanpa ego. Harapan saya sederhana: semoga Dewan Kesenian Daerah (DKD) bisa menjadi wadah yang tepat bagi insan seni untuk tumbuh dan bersinar.

Dengan seni, kita belajar mencintai, merangkul, dan menjadi manusia yang lebih peka pada kehidupan.

Wassalam.

0 Comments

🏠 Home